Tuesday, February 01, 2005

The Linguistic [R]Evolution

[mode standar bahasa #3 = on]

Posting yang sebelumnya pernah nyantumin kode seperti di atas. Apaan sih maksudnya? Trus ada apa sih sama judul yang seperti slogan iklan mobil paling laku di Indonesia itu? Nah...

Jawaban yang pertama:
Gue punya gaya yang berbicara/menulis punya standar gaya berbahasa yang beda-beda, tergantung situasi & kondisi, tapi bisa juga gak liat-liat situasi & kondisi :P Makanya jangan heran kalo misalnya gue ngobrol suka make pilihan kata yang rada-rada 'ajaib'. Kayaknya banyak orang, terutama dari daerah (non Jakarta) punya kecenderungan seperti ini, cuma dlm kasus gue lebih gak konsisten lagi. Jadi, begini kira-kira penjelasannya.

[mode standar bahasa #1]
Biasa disebut gaya bahasa "saya". Ini adalah gaya bahasa yang pertama dikenal oleh saya. Gaya bahasa Indonesia semi formal-formal yang biasa digunakan di rumah. Orang tua saya adalah tipikal perkawinan antar suku Jawa-Sunda, sementara tempat tinggalnya di Bandung yang sangat Sunda. Jadi sudah sejak awal orang tua saya menanamkan persatuan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Tapi karena percampuran budaya tadi, maka sangatlah lumrah terjadi berbagai 'serapan' kedua budaya dlm gaya bahasa Indonesia yg 'baik dan benar' ini. Gaya ini banyak dipakai saat saya kecil hingga SMP/SMA. Gaya ini sampai sekarang saya gunakan dalam pertemuan-pertemuan resmi, semi-resmi, atau bahkan cuma sekadar bertemu dengan teman lama, misalnya, termasuk tulisan-tulisan lama saya. Tapi tentu saja, yang paling nyaman adalah menggunakannya di rumah.

[mode standar bahasa # 2]
Ini kayaknya mah jadi gaya yg paling banyak dipake anak Bandung kalo ngobrol. Kepake terus sejak jaman eSDeh sampe kuliah. Gaya yang biasa ajah sih, gak jauh dari # 1, bahasa Indonesia berdialek sunda, pleus sisipan-sisipan sunda. Kadang-kadang awalnya ngomong Indo, eh keterusan jd nyunda terus. Sayah mah suka gak ngerti 'da, tapi rasanya teh enakeun ngomong kayak beginih, apalagih kalow udah akrab. Kumaha nya*, tapi gak sreg ajah gituh kalow gak seperti ituh. :P
*Gimana ya

[mode standar bahasa #3]
Gaya ini biasanya disebut gaya bahasa "gue-lu". Ngikutin perkembangan kepribadian pas waktu remaja (yg berarti hampir gak punya kepribadian), kepengaruh sama gaya kelihatan di majalah, radio & tv tentang pergaulan anak muda 'masa kini', gue so pasti ikutan doonng... Mulai SMA, udah biasa nyebut "gue-lu". Lebih parah sih, karena masih kepengaruh gaya #2, jadinya "guah-eluh". Awalnya sih kerasa aneh juga, tapi tetep nebelin telinga soalnya, kayaknya, banyak yg pake gaya bahasa kayak begini. Dunia remaja memang kadang-kadang aneh, supaya bisa 'nyambung' kita harus bergaya sama kayak kebanyakan orang.. Tp gue enjoy aja tuh. Kalo gue ngobrol ama orang Jakarta ga perlu penyesuaian lagi kan? :P

[mode standar bahasa #4]
Gaya "aku". Pertama kali memakainya untuk menulis sebuah puisi. Entahlah, rasanya lebih pantas aku melakukannya seperti itu. Dari sekian banyak yang bisa kutulis, aku akhirnya menulis puisi. Kukira seharusnya aku bisa menuliskan beruntai kata indah tentang kepedihan & cinta ke dalam sebuah cerpen, tapi aku berakhir dengan empat baris kalimat dengan rima. Jika kugunakan gaya ini, sebuah resensi film akan menjadi sebuah surat cinta :j Lucu, rasanya aku berada di dunia lain saat berkata-kata dengan gaya ini. Memang, aku tak pernah menggunakannya untuk berbincang-bincang, hanya untuk menulis, terutama jika ada kegelisahan, kepedihan, atau sekedar melankoli yang tak tertuntaskan. Seseorang pernah berkata kepadaku, "Derita karena cinta, adalah inspirasi sepanjang masa.." Kurasa dia benar :j

[mode standar bahasa #5]
Gaya "java". Sejak kuliah aku udah biasa sama bahasa jawa, terlebih karena banyak teman sejurusan memang berasal dari sana, dan bapakku memang orang jawa tulen. Aku gak pernah belajar/diajarin, tapi 'terpengaruh'. Pas kuliah sih ketularan dialeknya, sama ngerti sedikit, tapi gak pernah bisa ngomong sepotong pun bahasa jawa. Jd aku bisa bergaya jawa, tapi gak bisa ngomongnya :P Pas aku kerja di Jakarta, eh ndilalah ternyata 80% orang di divisiku itu orang jawa, karena ngerekrut banyak dari Jateng-Yogya-Jatim. Apalagi di unit kerjaku, cuma aku seorang yang sunda. Walhasil, 3 bulan kerja aku udah ngerti banyak sama bisa ngomong jawa sedikit. Jadi kebiasaan juga, ngobrol pake bahasa Indo dialek jawa: "Mas, iki piye tho*, ada request buat efek orang terbang pake sling, tapi budgetnya ndak turun-turun? Bayar pake apaan dong?" "Mbuh**. Aku ndak ngerti." "Yo wis***, kalo gitu kita pake senar pancing aja. Pedhot ora yo****? :P
*ini gimana sih
**Gak tau
***Ya udah
****Putus ga ya?

Ada satu lagi sih, "english mode". Tapi kayaknya gak terlalu jelas karakternya ya? I have no distinct dialect.

Gitu deh. Gak punya kepribadian? Justru malah multikepribadian :P


Jawaban yang kedua:
Gak kenapa-kenapa. Keren aja keliatannya ;)

No comments: