Thursday, September 01, 2005

The Silence

There's a sunset in my mind today. Not the sunset stolen by Sukab, and sent in a letter to his beloved Alina*. Not the kind of sunset beautifully portrayed by famous artists on their canvases. No, it just a twilight sunset across the city, when the sun shrouded its light, before slowly, duck itself into the horizon.

A sunset carries thousands of feeling in its presence. It's loaded enough to blast an explosion of emotion, either joy or pain. Some might not like sunset because the gloomy, sad mood, but some might love the romantic-beautiful sunset 'cause they filled with lots of joy. But I love sunset for both reason. Yes, I love spending my sunsets in gloomy mood, enjoying the pain getting to my bones. Yes, I love spending sunsets in its beauty, feeling the romantic atmosphere possessing my soul. And yes, no other thing can match those feelings.

This sunset, I can't really tell, which feeling is in me... There have been so many things happening around here. I've been in another position lately, so my shooting days are over, for now. No more of those rumbling and chaotic days. I kinda miss them, though. It's fun to do some challenging jobs, doing something that can be seen on the screen. But sometimes, things just getting so messed up, and the effort to make it alright was consuming my mind and body, another taste of it could lead me to hospital treatment, mental or medical. So here I am, doing another job, dealing more with non-living things, and paperworks. Kinda boring, but maybe, just maybe, I need the break. Plus, I could use the spare time more (hopefully) productively. So instead of making tv shows, I end up watching them more, because there is a tv in a room where I work. The gossip show, the news, drama, movie, or even the new hip series. I watch those affair gossips, the crime, the crisis, cheezy religious-wannabe drama, violence, even several desperate housewifes. It's too much information, I say. So when I looked outside the window, saw the reddish sky, I didn't know what should I feel: sad, angry, concerned, suffocated, obnoxious, or amused but confused?

I just stood there, with the all of the feelings, and the sun was going down. Slowly, the feelings are fading away, leaving an empty atmosphere in me. Just silence...until the sun went down, leaving the face of darkly night.

Sometimes, I think, we need a moment of silence. Leave out anything, just to enjoy a moment passes by, slap yourself (in a veeeeery soft way) and saying, "Hey, I'm still alive!".

Just another foolosophy though ;)


(*)"Sepotong Senja Untuk Pacarku", Seno Gumira Ajidarma

Tuesday, August 16, 2005

The Return of sentimentalasshole

Hello.

Rasanya malu, mengucapkan satu kata itu, karena sudah sebegitu lamanya meninggalkan blog ini, di luar kehendak saya--tentunya. Setelah cukup lama hidup kembali di masa kegelapan-tanpa internet, pdhl pelanggan milis yg super aktif, membuat saya cukup gelagapan ketika berada di depan komputer (yg online, tentunya). Betapa banyak e-mail yg terlewat 3 bulan belakangan, betapa kencang dunia berlalu, sedang saya rasanya nggak kemana-mana... Jadi ingat lagunya Keane:
people are changing
and I don't feel the same...
Menyenangkan, sekaligus menyebalkan :j
Blog yang sederhana ini jadi terombang-ambing dalam ketidak-pastian, seperti nasibnya Dunia Lain: The Movie yg belum tayang2 juga di bioskop :j Tapi akhirnya, saya kembali! (^_^)V

Oya, terima kasih untuk yang sudah mampir selama blog ini hiatus, maaf belum bisa balas mengunjungi, & semoga saya makin rajin update lagi biar nggak pada bosen mampir, hehehe.

Kabar lain lagi, saya sudah 'berhasil' menyarangkan 'gol' :P Bukan, bukan pertandingan liga champions, tp setelah pernikahan bulan mei kemarin, alhamdulilah istri saya sudah mengandung anak kami yg pertama. Mohon doanya ya, supaya anak ini selamat, jadi anak yang kuat & shalih, berguna bagi nusa, bangsa, & dunia, aamiin.

Waktu 3 bulan cukup lama, untuk tetap menuliskan apa saja, tapi sayangnya itu tdk saya lakukan. Saya malah tenggelam dalam kesibukan kerja & rumah tangga, tanpa menuliskan secuil kalimat pun. Sebenarnya ada sih, beberapa kalimat dari cerpen yg ingin saya rombak, tp berhenti sebelum jadi sebuah paragraf :P. Mungkin seseorang harus 'bertapa' dalam kesibukan hidupnya, sebelum akhirnya punya cukup waktu untuk melihat kembali ke belakang dan merenungi semuanya, hingga punya bekal yg cukup untuk memulai sesuatu yang baru...

Ah, pokoknya saya senang bisa kembali! :)

Tuesday, May 17, 2005

Sentimental-asshole: The Wedding

Hello world.

Long time no see, eh? (or long time no read? dunia maya gitu loooh? :P)
It has been too long since my last update. Setelah proyek Dunia Lain: The Movie selesai, ternyata banyak yang udah nunggu; program2 reguler, pindahan kantor (ruangan sub-dept gue pindah ke lt 7), yg berakibat pada nggak ada koneksi internet whatsoever sampe sekarang (gue sekarang ini ngenet dari ruangan Transinema di lt. 1), dan yang terpenting adalah... nikahan gue.

Yup, sabtu ini gue getting married. Begitu kelar film, gue baru nyadar kalo waktu persiapan tinggal 1 bulan. Walhasil, tunggang langgang dengan sukses. Termasuk keuangannya juga :P. Tapi alhamdulillah, semua bisa cukup teratasi. Tinggal sekarang, menunggu harinya tiba...

Makanya, (lagi-lagi) gue bakalan lama lagi posting nih. Basi ya?
Tapi sekarang mudah-mudahan gak lama deh. Susah juga hidup tanpa internet hari gini.

Jadi... gue dan calon istri, mo minta doa restunya aja. Moga-moga kami berdua bisa menjadi keluarga yg sakinah, mawadah, dan rahmah. Amin.

Buat yg mo (& bisa) datang, hubungi aja japri ya... gak enak kalo dipampangin di sini sih ;)

Until then :)

Wednesday, March 30, 2005

Shots from the movie

Gue blm bisa nulis bwt blog ini, tp bisa share sedikit foto dr film yg lagi gw kerjain. Semuanya jepretan gw (selagi sempet) di tengah2 syuting. Ini semua cuma thumbnail, jd kalo mo liat yg rada gedean tinggal diklik aja gambarnya.
Here they go...



Free Image Hosting at www.ImageShack.us

Free Image Hosting at www.ImageShack.us

That's all for now. I'll be back later, soon :)

Friday, February 25, 2005

Debts: The Movie

Lagi-lagi jarang update. Yah, musuh pertama gue skrg adalah rasa malas. Malas yg makin sering datang, terutama kalo pikiran udh beredar ke mana-mana. Well, I'm taking counter measures for it, for now. Here I am, writing some more nonsense again :)

Gue banyak berpikir tentang karir gue belakangan ini, & berpikir utk menggantinya dengan... ya dengan yg lebih cocok. Agak fatal sebenarnya, mengingat ini sudah masuk tahun kedua gue di posisi gue sekarang. Well, a man gotta try in order to succeed. If one should failed, it's a knowledge. Dalam pencarian, datanglah tugas itu ke gue: gue diikutin utk bikin FILM. Bukan, bukan film yg dijual asongan di kebun binatang; Film layar lebar; a freakin' movie.

Jadi inget lagi. Salah satu faktor yg bikin gue pengen masuk ke tmpt kerja gue skrg adalah: ikut terlibat dlm pembuatan film layar lebar. In so much different role, of course. Niat gue waktu itu sih pgn jd editor. Jadinya malah ke art-property :j. This movie, btw, not exactly the kind of movie I'd like to be involved in. But, well, a movie still a movie anyway. I am hired as professional, so it's my job to do it, with excellence. When I think of it, mungkin ini satu2nya 'hutang' gue ke diri sendiri yg blm terbayar...

Syuting film ini (menurut jadwal sementara ini) dimulai awal Maret ini, +/- sebulan lah. Jadi gue bakalan lebih lama ga update blog ini (emang biasanya rajin?? :P) Ya begitulah... Doakan saya ya! (dgn mata menyipit & mengacungkan dua jari) (^_^)V

Saturday, February 12, 2005

Future: The Final Frontier

It has been awhile since my last movie watching. Well, I was orbiting a bizarre line of my life, kinda stranded in space. I haven't seen many movies lately, despite of having a high pile of dvds. Work, wedding arrangements, & books, are things I'm in to lately. But even a lost-in-space orbiter finds a decent space station once and awhile, so why can't I?

Jadi nontonlah saya. Mencoba mencuri sedikit waktu dari hari2 yg tersita. Sudah agak lama sih, sekitar 2 minggu yg lalu.
"Kemana aja sih?"
Ya gak kemana-mana. Di sini saja. Kan sudah bilang kalo saya 'tersesat dlm ruang' (terjemahan bebas)...
"Ah sudahlah. lalu?"

Saya sempat nonton tiga film: The Aviator, Millenium Actress (dvd), & Tokyo Godfathers (dvd).
Dua yg terakhir itu anime jepang, dgn sutradara Satoshi Kon. Saya sangat terkesan dgn dua film yg pertama, secara tema agak2 berkaitan, selain visi sutradara2nya yg asyik utk disimak. The Aviator (Martin Scorcese) bertutur ttg kisah hidup seorang Howard Hughes, seorang pengusaha yg dikenal sebagai pendiri Hughes Aircraft, salah satu industri pesawat (yg pernah) terkemuka AS. Tau helikopter serang Apache? Yg membuatnya itu Hughes Helicopters, bagian dr Hughes Aircraft, yg sekarang sdh jd milik Boeing. Anyway, film ini menggambarkan perjalanan hidup Hughes sejak muda, yg memilih memulai 'karir'nya dgn menjadi sutradara & produser film, drpd menjalankan bisnis minyak keluarganya. Di sini terlihat karakter Hughes yg tak pernah berubah sampai tua; seorang perfeksionis, & pekerja keras yg keras kepala. Kerja keras bertahun-tahun dlm film pertamanya itu terbayar. Ketenaran dia raih, tapi dia merasa tak nyaman dgn itu. Hatinya ternyata tertambat di dunia yg lain: penerbangan. Maka dia mendirikan industri pesawatnya sendiri. Ia juga membeli TWA, maskapai penerbangan yg hampir bangkrut. Dgn TWA, ia menjadi org pertama yg berhadapan dgn PanAm, maskapai yg memonopoli rute penerbangan internasional (terutama eropa). Konflik dgn PanAm ini yg banyak menguras emosi seorang Howard Hughes. Penggambaran dramatis Scorcese berpusat di sini. Betapa org yg sangat kuat pendirian & percaya diri seperti Hughes sampai terguncang jiwanya, krn konflik tsb sampai mengacak-acak bisnis & kehidupan pribadinya. Dia jg menghadapi pengadilan kongres yg membuatnya jd sorotan publik, sesuatu yg tdk dia sukai. In the end, dia bisa bangkit kembali & menghadapi semua. Hughes is back on the wheel again. However, ada sesuatu yg tersisa dari konflik itu; setiap kali ia merasa senewen, dia akan mengulang-ulang ucapannya yg terakhir, seperti piringan hitam yg selip. Pada suatu saat ia terhenti di satu kalimat: "The way of the future...". Di situ lah digambarkan Hughes menemukan kembali tujuan hidupnya, menjadikan setiap apa yg dia kerjakan menjadi 'the way of the future'... Menghasilkan semua yang menjadi terbaik di waktu itu.
What a goal.

Selanjutnya, Millenium Actress by Satoshi Kon. Anime ini sebenarnya sudah berumur agak lama, thn 90an lah. Tapi saya memasukkan anime ini dlm daftar koleksi secara menurut seorang teman penceritaannya unik. Dan ternyata memang benar, teknik berceritanya luar biasa. Cerita Millenium Actress bermula dr proses penghancuran sebuah studio film yg terkemuka di masanya, yg menelurkan banyak bintang dan salah satu yg paling terkenal adalah Riyoko Kobayashi. Berkaitan dgn itu akhirnya seorang penggemarnya, seorang pembuat film amatir, membuat sebuah dokumenter ttg kisah sang aktris dari masa lalu hingga sekarang. Jadi ceritanya berpusat pada biografi sang aktris. Sederhana sebenarnya, tp digambarkan dgn cara yg tidak sederhana. Wawancara yg dilakukan si film-maker tsb mengantarkan pd flashback2 cerita dari sudut pandang sang aktris, tp tanpa menghilangkan si pewawancara & kameramennya. Kedua org itu muncul dlm flashback2 ke masa lalu tsb sebagai stalker yg menguntit ke mana pun sang tokoh pergi, bahkan dalam flashback film2 yg dibintangi sang aktris, si pewawancara selalu ikut menjadi salah satu pemerannya! Talking about wild imagination... Inti cerita dari film ini adalah apa yg melatarbelakangi kehidupan sang aktris selama ini. Riyoko menhabiskan masa mudanya menjadi aktris dgn harapan dia akan bertemu dgn pujaan hatinya; seorang pelukis yg menjadi buron polisi militer kekaisaran di masa PD II. Cerita semacam itu pula yg menjadi 'roh' dlm setiap film yg dia bintangi; pencarian seorang yg dia cintai, yg terpisahkan karena politik & kekuasaan. Walaupun bertahun-tahun berlalu, ia tak pernah berhenti mencari, hingga ajal menghampirinya. Ia tak peduli apakah ia akan bertemu dengan dicari atau tdk, selama ia masih dpt berusaha mencari, ia akan melakukannya...

Hmm... Kedua film itu bertutur tentang satu hal yg sama: tujuan hidup.
Itu membuat saya berpikir tentang tujuan2 hidup saya, dan apakah usaha2 yg saya lakukan sudah mengarah ke sana. Pikiran yg sebenarnya sudah mengorbiti benak saya belakangan ini.
"Mau seperti apa masa depanmu?", "Mau jadi apa?", "Bagaimana?", adalah pertanyaan2 yg harus saya jawab dlm beberapa tahun ke depan.
Entahlah, saya masih perlu waktu utk berpikir....

Tuesday, February 01, 2005

The Linguistic [R]Evolution

[mode standar bahasa #3 = on]

Posting yang sebelumnya pernah nyantumin kode seperti di atas. Apaan sih maksudnya? Trus ada apa sih sama judul yang seperti slogan iklan mobil paling laku di Indonesia itu? Nah...

Jawaban yang pertama:
Gue punya gaya yang berbicara/menulis punya standar gaya berbahasa yang beda-beda, tergantung situasi & kondisi, tapi bisa juga gak liat-liat situasi & kondisi :P Makanya jangan heran kalo misalnya gue ngobrol suka make pilihan kata yang rada-rada 'ajaib'. Kayaknya banyak orang, terutama dari daerah (non Jakarta) punya kecenderungan seperti ini, cuma dlm kasus gue lebih gak konsisten lagi. Jadi, begini kira-kira penjelasannya.

[mode standar bahasa #1]
Biasa disebut gaya bahasa "saya". Ini adalah gaya bahasa yang pertama dikenal oleh saya. Gaya bahasa Indonesia semi formal-formal yang biasa digunakan di rumah. Orang tua saya adalah tipikal perkawinan antar suku Jawa-Sunda, sementara tempat tinggalnya di Bandung yang sangat Sunda. Jadi sudah sejak awal orang tua saya menanamkan persatuan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Tapi karena percampuran budaya tadi, maka sangatlah lumrah terjadi berbagai 'serapan' kedua budaya dlm gaya bahasa Indonesia yg 'baik dan benar' ini. Gaya ini banyak dipakai saat saya kecil hingga SMP/SMA. Gaya ini sampai sekarang saya gunakan dalam pertemuan-pertemuan resmi, semi-resmi, atau bahkan cuma sekadar bertemu dengan teman lama, misalnya, termasuk tulisan-tulisan lama saya. Tapi tentu saja, yang paling nyaman adalah menggunakannya di rumah.

[mode standar bahasa # 2]
Ini kayaknya mah jadi gaya yg paling banyak dipake anak Bandung kalo ngobrol. Kepake terus sejak jaman eSDeh sampe kuliah. Gaya yang biasa ajah sih, gak jauh dari # 1, bahasa Indonesia berdialek sunda, pleus sisipan-sisipan sunda. Kadang-kadang awalnya ngomong Indo, eh keterusan jd nyunda terus. Sayah mah suka gak ngerti 'da, tapi rasanya teh enakeun ngomong kayak beginih, apalagih kalow udah akrab. Kumaha nya*, tapi gak sreg ajah gituh kalow gak seperti ituh. :P
*Gimana ya

[mode standar bahasa #3]
Gaya ini biasanya disebut gaya bahasa "gue-lu". Ngikutin perkembangan kepribadian pas waktu remaja (yg berarti hampir gak punya kepribadian), kepengaruh sama gaya kelihatan di majalah, radio & tv tentang pergaulan anak muda 'masa kini', gue so pasti ikutan doonng... Mulai SMA, udah biasa nyebut "gue-lu". Lebih parah sih, karena masih kepengaruh gaya #2, jadinya "guah-eluh". Awalnya sih kerasa aneh juga, tapi tetep nebelin telinga soalnya, kayaknya, banyak yg pake gaya bahasa kayak begini. Dunia remaja memang kadang-kadang aneh, supaya bisa 'nyambung' kita harus bergaya sama kayak kebanyakan orang.. Tp gue enjoy aja tuh. Kalo gue ngobrol ama orang Jakarta ga perlu penyesuaian lagi kan? :P

[mode standar bahasa #4]
Gaya "aku". Pertama kali memakainya untuk menulis sebuah puisi. Entahlah, rasanya lebih pantas aku melakukannya seperti itu. Dari sekian banyak yang bisa kutulis, aku akhirnya menulis puisi. Kukira seharusnya aku bisa menuliskan beruntai kata indah tentang kepedihan & cinta ke dalam sebuah cerpen, tapi aku berakhir dengan empat baris kalimat dengan rima. Jika kugunakan gaya ini, sebuah resensi film akan menjadi sebuah surat cinta :j Lucu, rasanya aku berada di dunia lain saat berkata-kata dengan gaya ini. Memang, aku tak pernah menggunakannya untuk berbincang-bincang, hanya untuk menulis, terutama jika ada kegelisahan, kepedihan, atau sekedar melankoli yang tak tertuntaskan. Seseorang pernah berkata kepadaku, "Derita karena cinta, adalah inspirasi sepanjang masa.." Kurasa dia benar :j

[mode standar bahasa #5]
Gaya "java". Sejak kuliah aku udah biasa sama bahasa jawa, terlebih karena banyak teman sejurusan memang berasal dari sana, dan bapakku memang orang jawa tulen. Aku gak pernah belajar/diajarin, tapi 'terpengaruh'. Pas kuliah sih ketularan dialeknya, sama ngerti sedikit, tapi gak pernah bisa ngomong sepotong pun bahasa jawa. Jd aku bisa bergaya jawa, tapi gak bisa ngomongnya :P Pas aku kerja di Jakarta, eh ndilalah ternyata 80% orang di divisiku itu orang jawa, karena ngerekrut banyak dari Jateng-Yogya-Jatim. Apalagi di unit kerjaku, cuma aku seorang yang sunda. Walhasil, 3 bulan kerja aku udah ngerti banyak sama bisa ngomong jawa sedikit. Jadi kebiasaan juga, ngobrol pake bahasa Indo dialek jawa: "Mas, iki piye tho*, ada request buat efek orang terbang pake sling, tapi budgetnya ndak turun-turun? Bayar pake apaan dong?" "Mbuh**. Aku ndak ngerti." "Yo wis***, kalo gitu kita pake senar pancing aja. Pedhot ora yo****? :P
*ini gimana sih
**Gak tau
***Ya udah
****Putus ga ya?

Ada satu lagi sih, "english mode". Tapi kayaknya gak terlalu jelas karakternya ya? I have no distinct dialect.

Gitu deh. Gak punya kepribadian? Justru malah multikepribadian :P


Jawaban yang kedua:
Gak kenapa-kenapa. Keren aja keliatannya ;)

Sunday, January 16, 2005

Minggu Pagi...

[ mode standar bahasa#1= on] *

Sebuah perjalanan kadang bisa memberikan pengalaman tersendiri, tapi nilai sebuah pengalaman baru akan terasa jika kita bisa 'berhenti' sejenak dari perjalanan tersebut. Berhenti sejenak, melihat-lihat 'pemandangan' yang terjadi, sebelum melanjutkan perjalanan. Nilainya, bisa sangat tinggi, tapi tak jarang hanya sekadar pemanis, sebagai bekal penghibur dalam perjalanan selanjutnya...
--

Pada satu hari menjelang akhir pekan, seorang teman menawarkan untuk ikut bersamanya ke Bandung. Berangkat jam 7 malam. Saya -kebetulan- memang berencana untuk pulang ke Bandung keesokan paginya, karena saya pikir perjalanan malam hari dengan kereta tidak akan nyaman mengingat traffic Jakarta-Bandung di akhir pekan. Mendengar tawaran itu, saya langsung berminat. Hari itu saya sebenarnya masih bertugas sampai malam hari, tapi karena acara hari itu tidak meminta hal-hal yang khusus, saya rasa saya bisa selesai lebih awal. Singkat kata, akhirnya saya dengan dia dan seorang teman yang lain berangkat malam itu.

Setelah berbagai penantian dan serba ketidakjelasan, akhirnya kami sukses berangkat sekitar pukul 9 malam (sukses? :j). Sepanjang jalan tol menuju keluar Jakarta kami asyik mengobrol tentang berbagai hal, dari mulai pekerjaan, bermacam-macam komentar & gosip tentang artis-artis (oh ya, dua orang teman seperjalanan saya adalah wanita), masalah perjodohan, sampai dengan serius membahas setiap lagu dari kaset yang diputar di mobil. Dari perbahasan itu, kami baru sadar bahwa kami tidak membawa banyak kaset, saat terjebak kemacetan di Ciawi. Karena kekurangan itu, mulai terasa gejala-gejala kebosanan; ada kekosongan saat memilih kaset yang akan diputar lagi, gelisah, lapar, dan perasaan untuk melakukan hal-hal yang tidak jelas. Akhirnya kami mulai... menyanyikan lagu-lagu yang samasekali jauh dari definisi 'keren' atau pun 'ngetop'.

Teman saya memulai dari lagu karangan Kak Seto yang saya sendiri tidak tahu-menahu, ditimpali komentar teman saya yang duduk di sebelahnya,
"Oh tidak, dia mulai lagi...".
Karena otak kami sedang sama-sama beku & kehabisan kaset yang menarik, kami tidak berhasil menggiringnya untuk diam ataupun menyanyikan lagu lain yang lebih menarik... Ternyata otak dia pun lumayan mumet, dan akhirnya berhenti pada sebuah lagu iklan sebuah produk susu berkalsium tinggi;
"Minggu pagi,
matahari bersinar cerah...".

Pepatah mengatakan: "If you can't beat them, join them." yang artinya: "Daripada pusing, mendingan ikutan gila." (???-gak penting-). Walhasil, kami bertiga menyanyikan lagu itu, dengan berbagai versi; dari versi yang 'baik & benar", sampai versi "kaset keriting"(dua-duanya memang ada di iklan tersebut); lagi, lagi, dan lagi...

Akhirnya kami keluar dari kemacetan, dan mood mendukung untuk memutar ulang kaset-kaset yang ada. Tapi tetap saja, setiap ada kekosongan, selalu aja ada saat untuk menyanyikan lagu yang sama, sebagai 'pemaksaan' untuk segera memutar kaset berikutnya. Sampai akhirnya kami sukses tiba di Bandung jam 02.30, setelah menempuh hampir 6 jam perjalanan (!).

Saya kembali ke Jakarta keesokan sorenya, langsung ngantor. Karena saya mulai bertugas subuh, saya putuskan menginap di kantor saja. Selesai tugas pagi, saya bisa pulang beberapa jam sebelum tugas lagi siang harinya. Lumayan, bisa tidur sebentar, mandi & berganti baju ( saya baru sadar bahwa saya tidak melakukan dua hal terakhir sejak berangkat kerja hari Jumat :P). Pulanglah saya, berjalan kaki di tepi jalan pagi itu. Saat itu Minggu pagi, dan matahari pagi bersinar dengan cerahnya... teringat lagi.

"Minggu pagi,
matahari bersinar dengan cerah..." (versi normal)
...
... (versi kaset keriting)
(.......dan saya kucel dengan sukses)
hiks.

Sebelum tidur lagi pagi itu, saya sms teman saya itu,
"Minggu pagi,
matahari bersinar dengan cerah..."
Siang hari balasan darinya tiba,
"Hahahahaha!"
"..."
"..."
Saya nyengir kuda.**

Entah apa nilai dari peristiwa ini, tapi yang jelas, saya punya kesan baru tentang Minggu pagi...



* Akan dijelaskan dalam posting berikutnya
** Bukan frasa yang baku. Tapi bila saya menggunakan "Saya menyeringai seperti kuda.", tidak memberikan kesan yang khas, dramatis ataupun menarik tentang ekspresi saya saat itu. ***
*** Saya lebih suka memakai frasa " Sayah seuri koneng." , tapi filosofi seuri koneng mungkin sulit ditangkap bagi yang tidak mengerti bhs Sunda :P

--

Saturday, January 15, 2005

Dua Belas Jam Di Nirwana

Akhirnya, terjadi lagi... Gue pulang ke Bandung jumat jam 9 malam kemarin, dan sudah di Jakarta lagi jam 8 malam. Minggu gue masuk lagi, jam 4 pagi. This job has really giving me new definition of "weekend" *sigh* Yes, my dayoff was on Saturday, which is weekend, but usually I don't get this 'lucky'. Jatah libur sehari, acak, & kadang disambung dengan tugas dini hari. Really nice. It's almost two years , and it succesfully made my nerve's getting cranky. Anyone else got their 2 dayoffs, so why can't we?

So there I was, stranded in Bandung, with a plan... to get back as soon as possible.
Ngingetin gue sama pengalaman dulu. Dulu gue cuma kangen, & need to escape, walaupun sekejap saja... Dan di sanalah aku... (my bahasa teacher would kill me if I use that phrase)


Dua Belas Jam Di Nirwana

/1/
Dua belas jam di nirwana
ketika kau berteman dengan bayangan
masa lalu dan masa depan
yang setia menemanimu berkelana

Kau dan seutas persahabatan
yang mengikatmu di kota ini
berjalan menyusuri siang
mencari arti dari sepotong hari
Mempertanyakan, apakah jalanan
yang kau tempuh sudah berseri
menghampar masa depan?

Dan kau pun terpaku
pada ribuan tanya
dan jutaan ragu
saat waktu berjalan.

Kau pun berjumpa dengannya,
-bayangan masa lalu itu-
walaupun hanya desah bayangnya
yang semakin membuatmu
sadar akan adanya
rindu yang menancap dada

Di nirwana ini kau menggapai rindu...

/2/
"Aku rindu ketinggian!",
ujarmu senja itu.
Maka di sanalah ketinggian,
saat kau bersama kawan
beserta kelebatan-kelebatan
bayangan sebuah nama.

Sebuah kebosanan,
ataukah kau yang lelah,
ketika malam berlalu saja
menyisakan perih sebuah cinta.

Di nirwana ini kau dan rindu berpisah...

(Bandung, Oktober 2003)